Magdalene.co Ungkap Framing Femisida di Media, tak Berpihak pada Korban

Simbur Cahaya

Simburcahaya.com – Magdalene.co media siber yang fokus pada isu perempuan, pada periode 14-31 Januari 2025 memantau media terkait pemberitaan femisida.

Temuan magdalene.co yang disampaikan pada live IG, Senin sore (21/4/2025) mengungkap berbagai framing femisida yang dipublikasi beragam media yang dipantau.

Bukan hanya sering menggunakan bahasa sensasional, media juga kerap membongkar identitas korban femisida.

Femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gendernya, adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang paling ekstrem.

Selaras dengan temuan Magdalene, United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women) menyebut femisida sebagai manifestasi paling nyata dari ketimpangan gender dan kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Hal itu, diperkuat Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 290 kasus femisida sepanjang tahun 2024. Angka ini menjadikan tahun tersebut sebagai tahun kedua tertinggi dalam lima tahun terakhir.

3 Media Arus Utama

Magdalene memantu tiga portal berita utama di Indonesia—Kompas.com, Detik.com, dan Suara.com, selama periode 14–31 Januari 2025. Dari pemantauan terhadap 193 artikel, sebanyak 185 di antaranya (95,3 persen) menulis femisida sebagai pembunuhan biasa yang bersifat sporadis, tanpa menjelaskan konteks sosial, budaya, maupun struktural yang menjadi akar dari kekerasan tersebut.

Bahasa yang digunakan juga kerap sensasional. Kata-kata seperti “tragis”, “sadis”, hingga “mengenaskan” menghiasi judul-judul berita. Bahkan, identitas korban seperti nama lengkap, alamat, hingga foto pribadi kerap disertakan tanpa sensor. Ini bukan hanya melanggar etika jurnalistik dan hak privasi korban, tapi juga berpotensi menambah luka dan trauma bagi keluarga korban.

Lebih dari setengah berita (56,2 persen) secara gamblang menyebut identitas korban. Dari ketiga media, Kompas.com menjadi yang paling banyak membuka identitas ini.

Padahal, dalam jurnalisme berperspektif korban, identitas pribadi seharusnya disamarkan atau dihilangkan, kecuali ada persetujuan dari pihak keluarga atau ada urgensi publik yang sangat besar.

Minimnya kontekstualisasi dan kurangnya suara dari organisasi advokasi atau akademisi yang memahami isu kekerasan berbasis gender memperparah narasi. Hal ini membuat publik gagal memahami bahwa femisida bukan sekadar tragedi individual, tetapi bagian pola kekerasan sistemik dan berakar pada ketimpangan gender.

Narasumber cuma APH

Mengapa berita-berita ini minim perspektif korban? Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan sumber. Magdalene mencatat bahwa dari 124 berita (64,5 persen) hanya mengutip keterangan dari aparat penegak hukum (APH), seperti polisi. Sedangkan narasumber dari pihak keluarga korban, saksi, atau pendamping hukum jarang sekali dihadirkan. Bahkan, tidak sedikit berita yang justru lebih memberi ruang pada narasi pelaku—termasuk pembelaan mereka.

Menanggapi temuan Magdalene, Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Siti Aminah Tardi mengatakan hingga kini proses hukum yang belum mampu menggali akar relasi kuasa antara pelaku dan korban menjadi salah satu penyebab utama dangkalnya pemberitaan.

“Sejauh ini, diungkapan kasus femisida karena permasalahan sepele, padahal salah satu efek dari relasi kuasa, pelaku merasa memiliki hak atas tubuh dan hidup perempuan karena merasa lebih kuat secara sosial atau ekonomi,” ujar dia.

Menurutnya, jika jurnalis hanya mengandalkan keterangan dari aparat penegak hukum, maka narasi yang dibangun akan sangat terbatas. Padahal, pemahaman tentang relasi sosial korban dan pelaku sangat penting untuk mengungkap akar kekerasan.

“Idealnya, jurnalis menjadikan keluarga, dan teman atau sahabat korban dijadikan narasumber sehingga bisa mendapatkan perspektif yang berbeda dari aparat penegak hukum, misalnya bagaimana hubungannya dengan pelaku? Apakah ada kontrol berlebihan? Apakah korban pernah mengalami kekerasan sebelumnya dari pelaku? Ini yang jarang sekali muncul di pemberitaan,” kata dia.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Dalwa Tajrul Arfah menjelaskan selama menjalankan kerja-kerja pendampingan terhadap kasus kekerasan berbasis gender. Menurutnya, banyak keluarga korban yang ingin menjaga privasi mendiang anggota keluarganya, tetapi malah harus melihat identitas korban diumbar oleh media.

“Di kampung, ketika seorang perempuan dibunuh, langsung muncul stigma, apalagi kalau dibunuh oleh pacar. Dibilang oh itu karena main dengan laki-laki lah, atau dianggap tidak menjaga diri. Itu jadi aib yang melekat pada keluarga, padahal mereka sedang berduka,” kata dia.

Ia juga mengungkapkan hingga kini masih ditemukan jurnalis sering kali mengejar kronologi tanpa memikirkan beban emosional keluarga korban. Dimana saat wawancara, bukan memberikan ruang aman bagi keluarga, tetapi sering dipaksa untuk menceritakan ulang peristiwa traumatis berulang kali, yang berisiko menimbulkan luka baru.

Atas kondisi tersebut, kedua narasumber Magdalene mengingatkan media mulai menyadari pentingnya menjadi pelopor dalam menunjukan keperpihakan kepada korban kekerasan perempuan, termasuk femisida.(*)

Artikel Lainnya

Agar Lebih Inklusif, Indonesia Mesti Percepat Kesetaraan Gender

Nonton Film Korea dengan Subtitle Closed Caption pada Hari Tuli Nasional

LBH APIK Sumsel: Penyuluhan Hukum Tindak Pidana KDRT hingga Ke Kelurahan

Tinggalkan komentar