SimburCahaya.com – Marda Ellius, perempuan petani asal Desa Bangsal, Sumatera Selatan, selalu merasa tertekan setiap terjadi kabut asap karena khawatir dengan kesehatan anak dan dirinya. Alasan ini yang membuatnya berani menggugat tiga korporasi yang mempunyai riwayat kebakaran hutan dan lahan berulang.
Marda tak sendiri, dia menggugat bersama warga desa lain dari kabupaten yang sama, Kabupaten Ogan Ilir. Mereka didukung organisasi lingkungan dan koalisi masyarakat sipil mendatangi Pengadilan Negeri Palembang untuk mendaftarkan gugatan pada Kamis (28/08/2024).
Diakuinya, cuaca panas karena kabut asap membuat suhu tubuh meningkat, badan gatal-gatal, juga batuk-batuk. Ditambah lagi ekonomi keluarga menjadi terganggu karena asap menghalangi untuk menyadap karet atau menangkap ikan.
“Saya memutuskan menjadi salah satu penggunggat dengan harapan perusahaan dan pemerintah lebih memikirkan lingkungan hidup,” tegas Marda.
Mutia Maharani selaku Ketua BEK Solidaritas Perempuan (SP) Palembang tak menampik, perempuan memang menjadi kelompok paling rentan terhadap asap karhutla. Sebab, perempuan terutama ibu hamil dan anak-anak lebih berisiko terhadap masalah kesehatan akibat paparan asap.
Dia menjelaskan, asap karhutla mengandung partikel berbahaya yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan, asma, dan penyakit paru-paru lainnya. Ibu hamil yang terpapar asap juga berisiko mengalami komplikasi kehamilan, termasuk kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah pada bayi.
Tidak hanya itu, banyak perempuan di daerah pedesaan yang bergantung pada sumber daya alam untuk mata pencariannya, seperti bertani dan berkebun. Karhutla dapat merusak lahan yang berdampak langsung pada pendapatan dan ketahanan ekonomi perempuan.
“Sementara Solidaritas Perempuan Palembang dalam penanganan darurat dari kabut asap adalah tidak berkantor dan menggunakan masker,” ujarnya dibincangi belum lama ini.
Api di Lahan Basah Perburuk Krisis Iklim
Tiga perusahaan yang digugat atas kasus kabut asap pada 2015, 2019, dan 2023 tersebut adalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA Wood Industries).
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba menyatakan, konsesi ketiganya berada pada lanskap gambut yang dapat menyimpan karbon. Rusaknya gambut di lanskap tersebut lantas memicu karhutla dan kabut asap terus-menerus.
“Tentu sangat memperburuk krisis iklim dan menghambat upaya penurunan emisi, bahkan membuat gagalnya pencapaian target iklim yang dibuat oleh pemerintah Indonesia,” ulas Belgis yang turut hadir saat pendaftaran gugatan.
Ipan Widodo dari LBH Palembang menambahkan, ini pertama kalinya masyarakat menuntut pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dari badan hukum atas kerugian akibat perusakan lingkungan.
Total ada 12 penggunggat, mereka adalah petani, penyadap karet, nelayan, peternak, ibu rumah tangga, pekerja lepas, hingga penggiat lingkungan. “Perjuangan ini menjadi babak baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Ini gaya baru perjuangan rakyat melawan krisis iklim.”
Tercatat, luas areal terbakar dalam konsesi ketiga perusahaan sepanjang 2015 – 2020 seluas 254.787 hektare, atau setara hampir empat kali luas DKI Jakarta. Ketiga perusahaan ini pernah dikenai sanksi hingga denda karena karhutla berulang. Namu tahu lalu, konsesi ketiganya masih terus terbakar. (yulia savitri)