Patahkan Stereotip Pustakawan Perempuan

Simbur Cahaya

SimburCahaya – Karakter pustakawan perempuan dalam film-film sering digambarkan sebagai perempuan tua dengan penampilan busana dan tata rambut yang ketinggalan zaman. Dari aspek sikap dan perilaku, umumnya sebagai sosok yang pasif dan kaku.

Stereotip karakter profesi pustakawan perempuan dalam film Indonesia era 2000-an masih digambarkan seperti itu menurut hasil riset Nina Mayesti dari Universitas Indonesia.

Dalam film box office Ada Apa dengan Cinta, misalnya. Film bertemakan drama remaja ini menampilkan adegan berlatar perpustakaan sekolah dengan seorang pustakawan perempuan paruh baya berseragam dan rambut digelung. Pustakawan itu muncul nyaris tanpa dialog, kecuali satu kata teguran terhadap tokoh Rangga.

Apakah pustakawan perempuan memang seperti itu? Pustakawan SMAN Sumatera Selatan, Dewi Krisnawati mematahkan stereotip tersebut. Menurut alumni Ilmu Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang ini, pustakawan adalah seseorang yang energik, luwes, ramah, cerdas, mendidik, bahkan jadi psikolog bagi pemustakanya.

“Jadi, mau seberapa tua usianya kalau memang jiwanya sudah di profesi ini, maka akan muncul pustakawan dengan sosok yang menyenangkan, tidak kaku,” jelas dia dibincangi usai acara Hari Kunjungan Perpustakaan Nasional 2024 di SMAN Sumatera Selatan, Jumat (13/09/2024).

Apalagi, lanjutnya, selain belajar teknis seperti klasifikasi, katalogisasi, arsip, atau automasi, calon pustakawan di kampus dibekali ilmu lain yang bisa mengubah sudut pandang pustakawan tidak menyenangkan, diantaranya belajar story telling, psikologi, teknologi terapan, hingga antropologi.

“Kalau boleh saya ibaratkan pekerjaan pustakawan itu seperti teller bank. Karena itu, pustakawan bekerja profesional harus ramah kepada pengunjung perpustakaan,” ujarnya.

Ditegaskan Dewi, gambaran pustakawan perempuan seperti di film-film kurang tepat. Saat ini pustakawan ikut berkembang seiring perkembangan zaman, sifat pemustaka, dan arus teknologi. Jika tidak, maka bersiaplah pustakawan itu akan digantikan yang bisa menyesuaikan zaman. Dia pun mengakui, kebanyakan pustakawan adalah perempuan.

Di Perpustakaan SMAN Sumsel, Dewi menjadikan dirinya bisa menyenangkan dan ramah. Tak hanya itu, kondisi perpustakaan juga dibuat lebih nyaman, tersedia fasilitas bermain, sofa dan area lesehan, televisi serta komputer yang terakses internet.

Dewi dan tim bahkan melibatkan siswa yang tertarik untuk membantu pelayanan informasi koleksi buku. Para siswa direkrut sebagai asisten pustakawan. “Jabatan mereka bersifat volunteer,” katanya.

Dengan menjadi asisten pustakawan, tambahnya, siswa akan memiliki keuntungan lebih dari siswa lainnya. Mereka boleh meminjam buku sampai 5 buku sedangkan siswa lain hanya 2 buku, dengan jangka waktu 10 hari dan siswa lain 7 hari. Mereka punya ruang kerja sendiri di dalam perpustakaan dan mempunyai hak akses yang lebih luas dari siswa lainnya.

Seperti Ilmi Putri, Kelas 12 SMA Sumatera Selatan. Dia menjadi relawan asisten pustakawan karena suka dengan perbukuan. Selain gemar membaca dan menulis, dia suka membantu melayani teman-teman pemustaka yang mencari koleksi.

“Karena tinggal di asrama sekolah, siswa di sini bisa belajar di perpustakaan saat malam. Saya dan teman-teman library assistant membantu pelayanan mereka. Sejauh ini tidak ada kendala, karena memang suka, enjoy sekali,” tutur Ilmi. (yulia savitri)

Artikel Lainnya

Patut jadi Inspirasi, Pertahankan Usaha Demi Bantu Sesama Perempuan

HAS 2023, Pengiat HIV Palembang Bergerak Bersama Komunitas Akhiri AIDS 2030

Forum Perempuan Diaspora NTT, Kawal Penangan Kasus Kekerasan Seksual oleh Mantan Kapolres Ngada

Tinggalkan komentar