Simburcahaya.com – Dalam kehidupan masyarakat adat Semende di Muara Enim, yang masih memegang teguh sistem Tunggu Tubang, peran perempuan tidak hanya terbatas pada urusan domestik tetapi juga menjadi ujung tombak dalam menjaga ketahanan pangan dan keseimbangan ekonomi keluarga.
Di tengah jeda antara musim tanam dan panen padi, para perempuan tunggu tubang memanfaatkan waktu luang untuk merawat dan mengelola kebun kopi, sebagai sumber penghasilan sela yang tak kalah penting bagi pertumbuhan ekonomi keluarga.
Sistem adat Tunggu Tubang yang mengatur hak dan tanggung jawab perempuan terhadap harta pusaka, yaitu rumah dan sawah, menempatkan mereka dalam posisi strategis untuk memastikan keberlanjutan kehidupan keluarga.
Saat lahan sawah belum memasuki masa panen, perhatian mereka beralih ke kebun kopi yang membutuhkan perawatan sebagai salah satu penghasilan lainnya, selain padi yang ditanaman dalam kurun waktu satu kali dalam setahun.
Seperti Juniarti, seorang Tunggu Tubang yang sedang menjawat kebun kopinya yang berada di Desa Muara Tenang, Semende Darat Tengah, mengaku memang menjadikan kebun kopi sebagai aktivitas lainnya selagi menunggu masa panen padi yang akan jatuh di bulan Juni 2025 mendatang.
“Karena panen akan dimulai di bulan Juni awal, jadinya saya bersama suami sekarang menjawat kebun kopi. Setelah masuk musim panen, kami akan fokus ke sawah dan akan kembali lagi berkebun saat sawah kami istirahat,” kata Juniarti, Minggu (04/05/2025).
Diketahui, masyarakat Semende termasuk perempuan, memiliki pemahaman tersendiri mengenai perawatan sawah, dimana sawah di Semende akan ditanam dalam periode sekali dalam setahun dengan menggunakan padi lokal.
“Kalau nanti panen, kita fokusnya ke sawah. Mulai dari panen sampai ke penyimpanan di tengkiang,” kata Juniarti.
Sehingga, pada saat masa sela dan setelah masa panen, Tunggu Tubang akan beralih ke kebun kopi sebagai pendapatan tambahan. Selain bernilai ekonomi, keterlibatan perempuan dalam kebun kopi juga menjadi ruang afirmasi peran mereka sebagai pengelola sumber daya alam yang berkelanjutan. Dari hasi kebun kopi itu, ia juga mampu menyekolahkan anaknya, merawat rumah hingga keperluan lainnya.
“Kalau luas kebun itu satu hektare. Alhamdulilah, penghasilan kopi dipakai untuk menyekolahkan anak salah satunya yang besar ini (sambil menunjuk Marisa). Terus yang kedua, juga yang masih SD,” kata Juniarti di sela-sela obrolan di kebun kopinya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam siklus kehidupan masyarakat agraris, kopi dan padi bukan sekadar komoditas, melainkan bagian dari harmoni peran gender, warisan adat, dan strategi bertahan hidup atau ketahanan pangan. Perempuan Tunggu Tubang hadir sebagai jembatan antara tradisi dan inovasi, antara masa tanam dan panen, antara alam dan keluarga.
Pemerintah daerah dan lembaga pendamping pun mulai memberi perhatian lebih kepada kelompok perempuan pengelola kopi, meski saat ini pelatihan, bantuan alat pertanian, dan akses pasar belum begitu terlihat secara signifikan. Diharapkan, peran Tunggu Tubang tidak hanya diakui secara kultural, tetapi juga diperkuat secara ekonomi dan kelembagaan.
Di Sumatera Selatan sendiri khususnya, promosi kopi juga tengah digencarkan oleh pemerintah melalui Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2024 tentang Pengembangan Kopi Sumatera Selatan Berkelanjutan. Hal ini dikarenakan, kopi merupakan komoditas yang potensial untuk kehidupan ekonomi masyarakat.
Kopi, padi, dan perempuan Tunggu Tubang bukan lagi tiga entitas terpisah, melainkan satu rangkaian kehidupan yang saling terhubung — membentuk harmoni dalam siklus kehidupan tunggu tubang yang terus bertahan dan berkembang.
Hal ini selaras dengan project yang digarap oleh Ghompok Kolektif terkait Tunggu Tubang Tak Kan Tumbang. Di mana, project ini akan membahas mengenai sistem ketahanan pangan yang dimiliki oleh Tunggu Tubang. Inovasi yang dihadirkan oleh Tunggu Tubang menjadi pelengkap bagaimana perempuan berperan besar dalam hubungan ketahanan pangan.
Menurut Muhammad Tohir, Koordinator Program Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang, kebun kopi merupakan berkah bagi Tunggu Tubang. Sebab, kebun kopi sebagai salah satu penunjang ekonomi keluarga. “Terlepas mereka sudah memiliki kekuatan ketahanan pangan itu sendiri dengan padi lokal, tanaman sayuran, dan kebutuhan protein mereka yang sudah terpenuhi,” kata Tohir.
Ia juga mengatakan, komoditas kopi juga penting sebagai alat produksi untuk penunjang ekonomi berkelanjutan. “Di mana perempuan sebagai ibu pertiwi yang mengurusi alam terdiri dari mata air, hutan, dan pangan. Itu juga yang sedang kita garap dalam project Tunggu Tubang, sehingga semua orang perlu tahu kalau Tunggu Tubang punya peran yang sangat penting,” kata dia. (*)