Kenapa Perempuan Harus Terlibat dalam Transisi Energi Berkeadilan?

Simbur Cahaya

Simburcahaya.com – Perempuan harus terlibat dalam transisi energi berkeadilan, terutama di Wilayah Sumatera Selatan. Hal ini disampaikan Koordinator Prodi Magister Kependudukan Universitas Sriwijaya (Unsri), Nengyanti dalam Seminar Mendorong Peran Masyarakat dalam Transisi Energi Berkeadilan dan Transformasi Ekonomi di Kampus Pascasarjana Unsri Palembang, Selasa (15/04/2025).

Mengapa harus terlibat? Nengyanti menekankan pentingnya keterlibatan perempuan karena dalam proses transisi energi harus ada keadilan untuk masyarakat terdampak.

“Perempuan itu yang paling terdampak terutama di ring 1 (kawasan proyek energi). Namun, kebanyakan program tidak memikirkan posisi perempuan dan keterlibatannya,” ungkapnya.

Menurut Nengyanti, perempuan mempunyai peran dalam pengelolaan rumah tangga, ekonomi keluarga, hingga gizi balita. Perempuan bahkan mampu memaksimalkan penggunaan energi hingga pemilahan sampah di rumah.

Dari perannya ini, maka perempuan rentan terhadap perubahan ekonomi dan lingkungan yang terjadi selama transisi energi. Meski begitu, perempuan juga cepat beradaptasi untuk aktivitas di luar pekerjaannya, misalnya dapat membangun Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) saat situasi mendesak.

“Dalam prinsip ekofeminisme, perempuan diinternalisasikan sebagai pemelihara, tapi pemangku kebijakan seringkali tidak melihat peran perempuan tersebut,” ulasnya dikonfirmasi usai seminar.

Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau Doddy S. Sukadri membenarkan, transisi energi berkeadilan erat kaitannya dengan isu gender. Hal ini disampaikannya berdasarkan definisi transisi energi dari Oxfam America. Pihaknya juga mencatat, peran perempuan meningkat di pekerjaan hijau (green jobs).

Dalam kesempatan yang sama, Doddy menjelaskan Mitra Hijau berkolaborasi dengan lima institusi lainnya telah membuat langkah pengembangann transisi energi di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

“Kenapa Sumsel? Sebab, Sumsel merupakan provinsi kaya sumber daya alam yang menarik banyak industri, terutama industri ekstraktif seperti minyak bumi, gas, sawit, dan batu bara. Sumatera Selatan bahkan merupakan penghasil batu bara tertua di Indonesia melalui PT Bukit Asam,” sebutnya.

Namun, lanjutnya, aktivitas ini turut menyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang memicu perubahan iklim dan pemanasan global, yang menyebabkan peningkatan bencana iklim. Pembakaran batu bara sebagai sumber energi utama memperparah kondisi ini serta memperburuk bauran energi nasional.

Di sisi lain, Sumatera Selatan memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah namun belum dimanfaatkan secara optimal, padahal hal ini dapat menurunkan emisi GRK dan biaya energi secara signifikan. Untuk itu, transisi energi kemudian menjadi menjadi suatu kemutlakan untuk dilakukan.

Dia mengingatkan, pentingnya keterlibatan multipihak dalam transisi energi, terutama peneliti dan masyarakat lokal, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, meningkatkan kapasitas, dan kapabilitas. Penting juga untuk melakukan penyamaan persepsi, peningkatan pengetahuan, dan diskusi rencana kerjasama ke depan di dalam transisi energi berkeadilan dan transformasi ekonomi. Hal ini dimulai dengan melalui pelaksanaan seminar yang digagas Yayasan Mitra Hijau dan Program Pascasarjana Unsri, tersebut. (yulia savitri)

Artikel Lainnya

SPHPN ungkap Perempuan Disabilitas Hadapi Risiko Kekerasan Berlapis

Emak-Emak Desa Muara Maung Keluhkan Mati Lampu Tiap Hari dan Tagihan Listrik Mahal

Darurat Stunting dan Wasting di Kawasan Tambang: Ancaman Tersembunyi bagi Generasi Mendatang

Tinggalkan komentar