“Berulang kali saya meminta anak berhenti main hape, tapi tidak digubris,” kata Pratiwi, warga Kota Prabumulih, Sumatera Selatan belum lama ini.
Karena tidak didengar ia mengaku meluapkan emosi dengan merebut android yang dimainkan sang anak tersebut.
Ia bercerita anaknya yang kini berusia 13 tahun memasuki usia pubertas, dan kini banyak menghabiskan waktunya di ruang digital.
“Main gim Roblox dan scroll TikTok kini menjadi kebiasaanya, padahal selama ini telah diterapkan aturan tegas hanya bermain saat akhir pekan,” kata dia lagi.
“Sudah tidak mendengarkan nasehat lagi, jadwal belajar dan mengaji juga kini terbengkalai, karena keenakan main gim,” kata dia.
Situasi ini, tambah dia sangat berat karena anak sudah tidak lagi mendengarkan suara orang tua, sehingga penting sekali ada regulasi tegaas dari pemerintah.
Di sisi lain, orang tua juga kadang terpaksa membujuk anak dengan memberikan tablet diungkapkan Nur Azizah (34), warga Kota Pagar Alam, menurutnya terpaksa memberikan tablet kepada anak laki-laki yang baru berusia 5 tahun.
“Saya setiap hari harus pergi mengajar, dan hanya dengan smartphone anak baru bisa ditinggal,” kata dia.
Kondisi tersebut, tentunya dengan berat hati, orang tua seperti dirinya membiarkan anak berselancar sendiri.
“Paling-paling ditemani neneknya, tapi ibu atau ayah saya juga tidak begitu paham dengan tontonan dan permainan anak-anak,” ujar dia.
Di tengah kebingungan orang tua mengatasi ketergantungan terhadap telpon pintar, tentu sangat berharap diterapkannya regulasi untuk membatasi penggunaan alat komunikasi berbasis internet tersebut.
Angin segar pembatasan penggunaan internet anak ketika pemerintah menerbitkan regulasi terkait,PP Tunas namun apakah bisa diterapkan secara efektif? tentunya masih menjadi pertanyaan.
Muhammad (40) warga Palembang mengakui kalau dirinya sempat mendengar ada aturan khusus bagi anak-anak dalam mengakses internet.
“Tapi apakah aturan tersebut bisa berlaku optimal, tentunya kami berharap agar pemerintah benar-benar tegas menerapkan regulasi tersebut,” kata dia.
Mayoritas orang tua, di lingkungan permukimannya kata dia sangat sulit mengintervensi anak-anak dalam mengakses platform di media social.
Apalagi, fasilitas bermain di lingkungan mereka sangat minim. “Anak-anak sulit mendapatkan alternatif permainan dalam mengisi waktu luang,” ujar dia.
Perlindungan Anak di Ruang Digital
Beragam permasalahan yang ditimbulkan karena anak bermain media sosial dan gim online tersebut, mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).
Regulasi ini menetapkan kerangka bagi platform digital untuk menyesuaikan akses dan fitur berdasarkan usia dan tingkat risiko.
Mengutip Magdalene.co, Direktur Ekosistem Media, Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media Farida Dewi menjelaskan pada (25/11/2025), PP Tunas semangatnya menjamin perlindungan anak di ruang digital. Berbeda dengan peraturan serupa dari negara lain seperti Australia, PP Tunas tak saklek menutup akses anak terhadap internet, melainkan menyesuaikan fitur dan konten sesuai usia anak.
Implementasi PP Tunas Mendesak
Data Statistik Telekomunikasi Indonesia dari Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan 72,78 persen penduduk Indonesia telah mengakses internet, dengan 96 persen rumah tangga memiliki ponsel pintar. Sebanyak 39,71 persen anak usia dini sudah memakai telepon seluler dan lebih dari sepertiganya mengakses internet. Angka ini menggambarkan paparan digital pada anak terjadi sangat dini, jauh sebelum mereka mampu memilah konten yang aman.
Sejumlah riset global menggambarkan besarnya risiko yang dihadapi anak. Studi longitudinal JAMA pada Juni 2025, dilansir NPR dalam artikel “Screen addiction and suicidal behaviors are linked for teens, a study shows,” menemukan remaja dengan kecanduan gawai memiliki risiko 2–3 kali lebih tinggi mengalami pikiran dan perilaku bunuh diri. Kecanduan tersebut ditandai penggunaan ponsel sebagai cara melupakan masalah, bukan semata durasi pemakaian.
Sementara artikel Bloomberg Technoz berjudul “Pakar: Anak Diasuh Algoritme Medsos Rentan Bunuh Diri & Terorisme” menunjukkan remaja kini “diasuh algoritme” karena konten ekstrem, seperti misogini, kekerasan, hingga radikalisasi dapat terus muncul kendati akun sumbernya diblokir.
Investigasi BBC dalam “Teens still exposed to harmful social media posts” (14/11/2025) menunjukkan pola paparan berbeda berdasarkan gender. Dalam hal ini, anak perempuan biasanya menerima konten depresi, perundungan, dan kekerasan berbasis gender. Sementara anak laki-laki disajikan video senjata, kekerasan terhadap hewan, dan konten agresi.
Sementara, child grooming juga relatif meningkat untuk semua gender. Media yang sama melaporkan satu dari tujuh anak mengalami grooming daring, pola yang juga muncul dalam berbagai laporan kasus di Indonesia.
Tren Global Pembatasan Akses Digital Anak
Sejumlah negara telah menerapkan kebijakan lebih ketat dibanding Indonesia. Laporan Helen Livingstone untuk BBC News Indonesia, “Australia larang anak di bawah 16 tahun pakai medsos – Bagaimana caranya?” (21/11/2025), menyebut Australia kini mewajibkan platform mencegah anak di bawah 16 tahun membuat akun mulai 10 Desember 2025. Akun yang sudah ada pun harus dinonaktifkan. Kebijakan ini diberlakukan setelah studi pemerintah menemukan 96 persen anak usia 10–15 tahun menggunakan media sosial dan tujuh dari sepuluh di antaranya terpapar konten berbahaya. Platform dapat dikenai denda hingga US$32 juta jika terjadi pelanggaran.
Untuk memastikan kebijakan berjalan, platform harus menerapkan verifikasi usia menggunakan kartu identitas pemerintah, pemindaian wajah atau suara, serta age inference. Namun, sebagaimana dicatat dalam laporan yang sama, sejumlah pakar menilai teknologi pemindaian wajah kurang akurat untuk kelompok usia remaja.
Dalam laporan Kamila Meilina di Katadata.co.id berjudul “Deret Negara Larang Anak Main Media Sosial Selain Malaysia” (26/11/2025), Prancis disebut merekomendasikan larangan media sosial bagi anak di bawah 15 tahun tanpa izin orang tua, serta mengusulkan “jam malam digital” bagi remaja. Denmark dan Norwegia menyiapkan regulasi serupa.
Spanyol mengajukan RUU yang mewajibkan persetujuan wali untuk anak di bawah 16 tahun. Cina membatasi jam penggunaan ponsel anak antara 22.00 hingga 06.00. Di Amerika Serikat, Negara Bagian Florida melarang anak di bawah 14 tahun memiliki akun media sosial mulai 1 Januari 2025.
Indonesia memilih jalur berbeda. Lewat PP Tunas, pemerintah tidak menerapkan larangan total, tetapi menekankan tata kelola risiko berbasis usia, verifikasi identitas, dan pembatasan fitur.
Isi PP Tunas
PP Tunas mewajibkan platform menetapkan batas usia penggunaan, melakukan penilaian risiko produk digital, serta memastikan seluruh akun anak berada dalam pengaturan default high privacy. Fitur parental control harus tersedia dan mudah digunakan. Platform juga dilarang memprofilkan anak untuk kepentingan komersial atau menggunakan praktik manipulatif untuk mendorong anak memberikan data.
Akses platform dibagi berdasarkan kategori usia. Anak di bawah 13 tahun hanya boleh menggunakan aplikasi risiko rendah dengan izin orang tua. Anak usia 13–15 tetap membutuhkan persetujuan, sedangkan usia 16–17 dapat menyetujui sendiri, meski orang tua akan mendapat notifikasi dan kesempatan membatalkan.
Namun, laporan Intan Rakhmayanti Dewi di CNBC Indonesia berjudul “Terbit Kilat demi Lindungi Anak, PP Tunas Masih Membingungkan” (22/10/2025) mencatat belum adanya daftar resmi platform “risiko rendah–sedang–tinggi.” Kondisi ini menyulitkan orang tua yang membutuhkan panduan praktis.
SAFEnet menambahkan kekhawatiran mengenai verifikasi usia berbasis biometrik yang dapat membuka celah pengumpulan data sensitif anak.
Berkaca dari pengalaman Australia menunjukkan pelarangan dapat mendorong anak menggunakan VPN atau akun palsu. Hal serupa dapat terjadi di Indonesia jika regulasi tidak diiringi edukasi dan alternatif digital yang aman.
PP Tunas menjadi langkah negara untuk memperjelas tanggung jawab platform dan mengurangi beban pengawasan yang selama ini dipikul keluarga. Namun, efektivitasnya bergantung pada SOP teknis, transparansi algoritma, literasi digital, serta penyediaan opsi aman bagi anak.
Masa transisi dua tahun yang diberikan kepada platform akan menentukan sejauh mana regulasi ini dapat berjalan.
Tulisan ini didukung oleh Komdigi
Foto Magdalene.co/ talkshow “Bangun Ruang Digital Ramah Anak #TungguAnakSiap” yang diselenggarakan Magdalene dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI di Jakarta Selatan, (9/12/2025).









