SimburCahaya.com – 10 tahun yang lalu, tepatnya tahun 2014 kasus HIV di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) meningkat drastis. Dinas Kesehatan kabupaten Muba saat itu mencatat, sejak tahun 2011 hingga 2014, ada 4 warga penyintas HIV meninggal dan yang dominan terinfeksi adalah laki laki.
Melonjaknya HIV di Bumi Serasan Sekate, julukan kabupaten Muba menjadi atensi khusus pemerintah saat itu. Berbagai upaya dan program digulirkan demi menekan laju penularan. Terlebih Kabupaten Muba merupakan daerah lintas, jadi potensi menyebar penyakit tersebut sangat besar.
Seiring berjalannya waktu, kasus HIV sendiri melandai sampai saat ini. Meskipun Kabupaten Muba masih masuk lima besar daerah di Sumsel dengan jumlah kasus terbanyak.
Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sumsel, dari awal tahun 2023 hingga Oktober 2023, sebanyak 689 orang disebutkan telah terinfeksi HIV/AIDS. Dimana Kabupaten Muba sendiri terdapat 23 kasus untuk HIV dan 14 kasus AIDS.
Untuk wilayah kasus terbanyak itu di Palembang, karena Palembang memiliki jumlah fasilitas medis yang dapat mendiagnosa dan memberikan pengobatan HIV/AIDS paling banyak dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di Sumsel.
Masyarakat seperti ibu hamil, pasien TB, laki-laki seks laki-laki (LSL), dan orang-orang dari jenis kelamin lain berisiko terinfeksi virus HIV, yang artinya penemuan kasus HIV/AIDS juga akan meningkat.
Dimana usia produktif yang terpapar HIV adalah antara 20-25 tahun dan 49 tahun. Angka penyintas anak-anak juga ditemukan, dan yang paling banyak adalah homoseksual atau LSL.
Sementara menurut dr. Santa Mercylia, M. Kes, dokter klinik Pinus RSUD Sekayu mengatakan, rata-rata pasien yang datang kepadanya masih berusia muda, dimana rentang usia 20 tahun.
“Jadi tahun 2000 penularan HIV kebanyakan lewat penasun (narkoba jarum suntik). Namun sejak 2018 terjadi pergeseran dari penasun ke hubungan seks, atau spesifiknya seks bebas,” ujarnya.
Peran Sriwijaya Plus dalam Upaya Mengatasi Diskriminatif
Kendati pemerintah daerah terus berupaya menekan laju penularan HIV dan AIDS secara masif, namun beberapa komunitas turut hadir untuk menjadi angin segar bagi penyintas Orang dengan HIV (ODHA) di Kabupaten Muba. Kehadiran komunitas Sriwijaya Plus di Sekayu ini salah satunya.
Odit, salah satu pendukung Sebaya Komunitas Sriwijaya Plus dan aktifis HIV di kabupaten Muba mengatakan, saat ini kabupaten Muba menjadi salah satu fokus intervensi komunitas terhadap penyebaran penyakit HIV AIDS di Sumsel.
“Untuk penanggulangan HIV di Muba sendiri berbagai upaya kami lakukan bersama Pemkab, atau melalui Dinkes. Seperti baru-baru ini melakukan podcast sebagai promosi dan sosialisasi agar masyarakat Muba mau melakukan pengetesan dan pentingnya dilakukan PCT,” ujarnya.
Selain itu Sriwijaya Plus juga menginisiasi terbentuknya suatu kelompok dukungan sebaya (KDS) di kabupaten Muba yang bernama KDS Lilac center. Jadi kelompok ini menggerakkan para ODA dan atau ODIV dapat berkumpul dan sharing berbagi pengalaman, baik masalah pengobatan ataupun mengajak teman atau pasangan melakukan tes secara rutin.
“Kita juga mengakomodir semua kebutuhan teman-teman yang ada di wilayah Sekayu dan sekitarnya baik informasi mengenai pemeriksaan dan juga pengobatan ARV, dan juga untuk berbagai kegiatan lain. Misalnya notifikasi pasangan, kemudian pemeriksaan penunjang kita komunikasikan lewat komunitas atau dukungan Sebaya,” jelasnya.
Peran Sriwijaya Plus dalam mendampingi para penyintas pun tak kalah penting. Karena selain melakukan tes, pendampingan pengobatan sampai advokasi HAM pun dilakukan.
“Masyarakat Muba sendiri beberapa sudah terbuka, namun ada juga yang belum menerima secara terbuka para penyintas ini. Artinya kami di komunitas terus berupaya memberi pengertian, dan menyebarkan informasi baik mengenai apa itu HIV,” bebernya.
Butuh waktu agar masyarakat memahami jika HIV ini memang penyakit menular tapi tidak murah menular. Maka itu jargon jauhi penyakitnya tidak dengan orangnya terus digaungkan.
“Kami juga meyakinkan para penyintas, bahwa mereka tidak menutup diri atau mendiskriminasi diri sendiri jadi mereka bisa bergabung dalam kehidupan sosial. Sehingga tidak terlihat jika memang mengidap penyakit tersebut dan harus rutin minum obat,” bebernya.
Untuk mengantisipasi terjadinya diskriminasi sendiri, pihaknya masih tidak open status para ODIV. Artinya dengan berkehidupan sosial seperti biasa, orang-orang tidak menyadari bahwa mereka berdampingan dengan para penyintas. Selama para ODIV ini patuh dan rutin minum obat, serta masyarakat lainnya bisa melakukan pencegahan.
“Untuk kasus diskriminasi ada yang pernah kita tangani, yang sering terjadi ketika mereka diminta mengundurkan diri dari pekerjaan. Atau memindahkan posisi pekerjaan karena ketahuan. Namun di Muba kasus diskriminasi itu tidak banyak,” ungkapnya.
Odit menambahkan, para penyintas di Sekayu atau Muba ini telah sering diberi pengertian jika mereka patuh minum obat maka tidak terlihat apakah mereka sedang sakit atau tidak. Jadi mereka juga bisa bersosialisasi dan menjalankan kehidupan sosial seperti biasa.
“Proses pengambilan obat di layanan kesehatan Sekayu tidak ada penanganan khusus dan sangat membaur. Untuk berbagai macam informasi penularan dan prilaku sendiri, kami di komunitas membuatnya tidak menjadi tabu lagi sehingga membuat orang di daerah lebih memahami bedanya prilaku dan orientasi,” ungkapnya.
Sebagai orang yang bergerak di komunitas ini, dirinya bersyukur pemerintah daerah selalu melibatkan yayasan atau komunitas yang ada. Misalnya melalui Dinkes sampai saat ini masih memberikan bantuan kepada teman-teman yang tidak mampu. Dimana bantuan tersebut sudah berjalan selama 5 bulan ini.
“Tentunya hal ini berkaitan dengan jargon hari Aids sedunia 2023. Memang pemerintah memajukan komunitas untuk sebagai leader dalam upaya menanggulangi HIV-AIDS,” tutupnya.(Yuliani)
Foto Istimewa: Suasana ketika komunitas berdiskusi dengan OPD terkait di Muba