“Kami pedagang kecil sering kali sulit mendapatkan ikan sungai segar, karena pasokan dari nelayan tangkap berkurang dan biasanya langsung diborong restoran atau pedagang skala besar,” ucap Wiwid pengelola Warung Pindang Mbok War yang berlokasi di tepi Sungai Musi, tidak jauh dari Jembatan Ampera.
Ia bercerita pasokan ikan sungai segar untuk usaha pindang Pegagan, yang telah dirintis sang ibu sejak tahun 1994 berasal dari pedagang ikan di pasar tradisional di Kota Palembang.
Namun, saat ini tidak mudah mendapatkan ikan dari pedagang di pasar tradisional, selain stok terbatas harga ikan pun mahal, terutama ikan baung yang menjadi salah satu ikan paling banyak penyukanya.
Ikan baung atau nama latinnya Hemibagrus nemurus biasanya dimasak menggunakan kuah dan bumbu dapur lengkap, biasa disebut pindang ikan baung.
Wiwid mengakui sulitnya mendapatkan pasokan ikan sungai membuat mereka pada waktu-waktu tertentu harus berkeliling pasar tradisional, mendatangi lokasi lelang ikan, yang berada di pinggir Kota Palembang, tepatnya di kawasan Jembatan Musi 2, Kecamatan Gandus.
Bahkan tak jarang, mudik ke dusun, untuk membeli ikan baung dari nelayan langsung. Meskipun, kerap kali ikan yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan memasak pindang ikan di warung terapung yang dikelolanya, tidak tersisa lagi karena hasil tangkapan sedikit dan telah dijual untuk pasokan ke restoran-restoran atau usaha rumah makan skala besar, tutur Wiwid, dibincangi Simburcahaya.com, Kamis (24/7/2025).

Seorang pedagang ikan di Pasar Kilometer 5 Palembang, Andi mengakui pasokan ikan segar dari sungai mulai langka sejak beberapa tahun ini.
Kelangkaan ikan, terutama ikan baung karena memang populasi ikan telah berkurang dan kini dipesan khusus oleh pembeli yang sudah berlangganan pada nelayan di dusun-dusun. “Pelanggan tersebut biasanya restoran-restoran pindang, yang kini marak di Kota Palembang,” kata dia.
“Kalau yang dijual pengepul ke pasar, biasanya ikan yang telah dipilih, bahkan kadang ukurannya masih anak-an,” kata dia.
Sementara ikan sungai segar yang dijual di pasar tradisional untuk kebutuhan masak pindang tersebut, berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi, di Sumatera Selatan ada delapan anak Sungai Musi yaitu Sungai Komering, Sungai Rawas, Sungai Batanghari Leko, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Lematang, Sungai Rupit dan Sungai Ogan yang bermuara ke Sungai Musi.
Sembilan sungai yang melintasi 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan tersebut biasa disebut dengan Batanghari Sembilan. Sungai Musi dan anak sungai serta sungai-sungai kecil di daerah tersebut terkenal kaya akan flora dan fauna. Ikan dan udang menjadi salah satu sumber protein yang selama turun temurun diandalkan masyarakat yang bermukim di Bumi Sriwijaya.
Kekinian, aktivitas perkebunan, industri ekstraktif dan galian C membuat DAS rusak dan sumber daya alam di sungai mulai hilang. Ketua Yayasan Anak Padi, Sahwan bercerita sejak maraknya eksploitasi batu bara di wilayah Kabupaten Lahat, Sungai Lematang yang selama ini jadi sumber kehidupan masyarakat telah rusak.
“15 tahun lalu, kami dengan mudah mendapatkan ikan, hanya dengan memancing atau menjaring dengan peralatan sederhana, kini sungai kami sudah tercemar, ikan-ikan mulai menghilang,” kata dia, belum lama ini.

Dia bercerita dari hasil uji PH air Sungai Lematang, pihaknya mendapat PH kurang dari 6.5 atau termasuk PH rendah dan terdapat polutan asam. Kondisi tersebut, karena dampak aktivitas industri batu bara dan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang mencemari Sungai Lematang.
Bahkan, diungkapkannya dari riset yang tim Yayasan Anak Padi lakukan dalam 5 tahun ini, anak Sungai Lematang yaitu Sungai Kungkilan dan Sungai Pule sama sekali tidak adalagi hewan akuatik yang hidup karena tercemar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Tak adalagi ikan atau udang yang dahulu sangat mudah kami dapatkan, untuk memenuhi protein rumah tangga,” ujar pria 36 tahun ini.
Sebagai warga tapak yang tinggal berdampingan dengan DAS Lematang, Sahwan mengakui sebenarnya kalau saja pemerintah dan perusahaan mau bertanggung jawab dalam menjaga lingkungan, melestarikan sungai dengan tidak membuang limbah dan tak merusak DAS, maka habitat ikan, udang dan sumber pangan lainnya di sungai-sungai di wilayah yang termasuk lingkar tambang batu bara tersebut akan tetap bisa bertahan, meskipun tidak seperti semula.
Kenyataannya, akibat eksploitasi batu bara besar-besaran kini warga tak lagi bisa mengandalkan kebutuhan hidup dari sungai dan alam. Lanskap alam pun kini sudah berubah, kerusakan dimana-mana, lubang-lubang tambang pun jadi cerita yang memprihatinkan bagi generasi di masa kini dan masa depan.
Keresahan akibat sungai tak lagi bisa diandalkan diungkapkan Saila (68), petani perempuan yang kebunnya hanya berbatas tembok tinggi dengan PLTU Keban Agung, Lahat, Sumatera Selatan ini. “Jangankan untuk mendapatkan ikan atau udang, sejak beroperasinya PLTU sekitar tahun 2012, Sungai Pendian di kebun kami jadi tempat pembuangan limbah perusahaan energy tersebut,” kata dia ditemui pertengan Juli 2025.
Ia bercerita, Sungai Pendian merupakan anak Sungai Lematang yang belasan tahun lalu masih banyak ditemukan beragam ikan khas, seperti ikan lais, ikan gabus dan ikan baung bahkan ada udang satang. Tapi kini, ikan-ikan tersebut lenyap karena hulu sungai tepat berada di area PLTU, katanya bercerita dan diiyakan oleh petani lainnya.
“Lihatlah, hulu sungai kini hanya berupa pipa besi, karena sudah dialihfungsikan oleh perusahaan menjadi sarana pembuangan limbah cair,” ujar Saila.
Tak hanya menghilangkan ikan dari sungai, kondisi air pun sudah tak bisa dikonsumsi lagi, apalagi saat perusahaan membuang limbah, air akan berubah warna menjadi kemerahan. Ketika pembuangan limbah berbarengan dengan hujan lebat, maka kebun-kebun di sekitar Sungai Pendian akan kebanjiran, tanaman rusak semua.
Karena itu, diakuinya kini tradisi mencari dan memasak ikan sungai tidak bisa lagi dilakukan. “Kami pun akan meminta pertanggungjawaban dari pemerintah, karena sudah berulang menyampaikan keluhan ke perusahaan tidak ada tanggapan,” ucapnya.
Bagi Wiwid, ketersediaan ikan sungai segar jadi kebutuhan untuk tetap melestarikan budaya kuliner, memasak pindang ikan yang sudah hadir turun temurun. Pindang ikan sungai jadi primadona karena cita rasanya yang segar dan gurih. “Kami berharap pemerintah mengintervesi pendistribusian ikan, jangan hanya pelaku usaha besar yang dapat, kami pelaku usaha mikro ini juga harus bertahan, di tengah keterbatasan pasokan ikan,” tegas dia.
Kuasai Lanskap Alam
“Memahami lingkungan adalah memahami perempuan,” kata Antropolog UIN Raden Fatah Palembang, DR Amilda ketika diwawancarai, Senin (21/7/2025).
Perempuan yang paling memiliki pengetahuan lingkungan di sekitarnya, karena perempuanlah yang selama ini berperan aktif dalam menjaga lanskap alam. Di desa-desa perempuanlah yang paling terdampak ketika terjadi pencemaran atau kerusakan sungai dan alam sekitarnya, karena perempuan sangat detail pengetahuannya terhadap lingkungan.
“Perempuan tahu kapan waktunya ikan bagus, kapan ikan jelek, kapan waktu yang tepat untuk mencari ikan di sungai maupun di rawa, karena secara turun temurun pengetahuan itu dilestarikan,” tegas Amilda.
Ikan yang bagus akan sangat pas disajikan dalam olahan pindang, bagus artinya ikan segar dan mudah didapatkan dari sungai atau rawa dekat permukiman. “Tak perlu membeli, karena alam sudah menyediakan untuk disajikan sebagai menu makan mengandung protein,” kata dia lagi.
Masakan pindang ikan, erat korelasinya dengan perempuan dan lingkungan, karena pengetahuan lingkungan dikuasai perempuan, perempuanlah yang menjaga dan merawat sungai dan rawa, karena sumber protein untuk keluarga tersedia di dekat mereka. Tak heran jika dalam semangkuk pindang ikan, merupakan representasi pengetahuan perempuan terhadap lingkungan. “Menjaga tradisi memasak pindang juga, merupakan upaya menjaga lingkungan, karena tersedianya ikan yang segar berlimpah bukti sungai masih bagus,” kata dia.
Jika kerusakan lanskap alam terjadi, perempuan akan kehilangan kemandirian. Akibatnya, terpaksa bergantung pada pihak lain, baik dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun ekonomi.
Dalam jurnal berjudul “Perikanan Rawa Lebak Lebung Sumatera Selatan” yang ditulis akademisi Universitas Sriwijaya, DR Muslim terungkap luas perairan umum Sumatera Selatan mencapai 2,5 juta hektare yang terdiri dari 43 % lebak, 31% sungai besar serta anaknya, 11% danau dan 15% rawa.

Perairan air umum di Sumatera Selatan sangat kaya akan keberagaman flora dan fauna, di antaranya terkandung berbagai jenis ikan bernilai ekonomis, yang sejak lama menjadi hidangan andalan di berbagai daerah dataran tinggi maupun dataran rendah.
Beragam ikan air tawar alam tersebut seperti, ikan baung (Hemibagrus nemurus), ikan tapah (Wallago), ikan lais (Kryptopterus bicirrhis), ikan toman (Channa micropeltes) ikan gabus (Channa striata), dan udang satang (Macrobrachium rosenbergii).
Pekerja Seni dan Budaya Palembang, Taufik Wijaya yang juga menulis naskah teater berjudul Merawat Sungai dari Dapur mengungkapkan kondisi lahan basah, sungai, rawa, dan pesisir di Sumatera Selatan kini semakin memprihatinkan.
“Ketika kami melakukan riset sebelum pementasan Teater Potlot dengan tema tersebut, 3 tahun lalu saja, kondisi sungai dan rawa sudah memprihatinkan,” kata dia dibincangi, Kamis (17/7/2025).
Kekinian, tentunya perubahan bentang alam semakin ekspansif, data menunjukan aktivitas industri ekstratif semakin tidak terkendali lagi. Hal itu, berdampak langsung pada eksistensi lahan basah juga DAS Musi.
Taufik menjelaskan lahan basah merupakan sumber pengetahuan lingkungan dan sumber pangan utama masyarakat di desa-desa, dan disinilah perempuan berperan strategis dalam menjaga lingkungan.
Tetapi tak kalah pentingnya, perempuan juga menjadi pendidik, juru kampanye dan menjaga lingkungan, empat hal ini semakin menancapkan eksistensi perempuan dalam melestarikan tradisi yang telah hadir sejak masa lampau.
Dalam hal pendidikan, perempuan merupakan praktisi menjaga dan merawat lingkungan tambah Taufik, karena perempuanlah yang berada di garda terdepan memanfaatkan sumber daya alam dari sungai dan rawa. Sehingga pengetahuan itu disampaikan secara turun temurun dari generasi tua ke generasi muda. Upaya menjaga lingkungan agar tetap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, sebenarnya konsisten dilakukan kaum perempuan desa, di tengah beragam tantangan yang dihadapi.
Di sisi lain, kehilangan ikan bukan hanya karena rakusnya pemilik modal dengan mengeksploitasi bentang alam, tetapi praktik perdagangan yang mengutamakan ketersediaan ikan di kota-kota besar, juga membuat pasokan ikan untuk masyarakat desa berkurang bahkan menghilang. “Ikan baung kini tidak lagi dengan mudah dinikmati dalam sajian pindang di desa-desa dekat lahan basah, karena ikan bagus dijual ke tauke untuk memenuhi kebutuhan ikan air tawar alam masyarakat perkotaan,” kata Taufik dengan nada miris.

Data BPS tahun 2022 menunjukan produksi ikan air tawar perairan tangkap dari sungai hanya 38.755 ton dan rawa 27.563 ton saja, sedangkan produksi ikan air tawar budidaya , seperti dari tambak dan keramba justru terus mengalami peningkatan, mencapai 249.378 ton pada tahun yang sama.
Ikan tambak harganya lebih murah dan tidak tergolong ikan bagus, sambung Amilda. Taufik juga menambahkan maraknya budidaya ikan selama ini dipacu oleh kehadiran warung-warung pecal lele yang hampir bisa ditemukan pada setiap sudut kota.
“Ikan budidaya harganya lebih murah, dan produksinya lebih cepat karena memang treatment yang diterapkan tidak alami, seperti ikan tawar alam,” kata penulis Novel berjudul Juaro ini. Juaro sendiri merupakan nama dari salah satu jenis ikan yang dulunya banyak ditemukan di perairan Sungai Musi, dan kini mulai langka.
Jangan Konsumsi Ikan dari Sungai Tercemar
Ketua Perwakilan Daerah Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI) Sumsel dan Dosen S1 Gizi Universitas Muhammadiyah Ahmad Dahlan (UMAD) Palembang Yenita berkata, kandungan zat gizi ikan di Sungai Musi dapat bervariasi, tergantung pada jenis ikan dan kondisi lingkungan sungai.
Ikan yang hidup di DAS Musi, seperti ikan patin, ikan gabus dan ikan baung mengandung gizi baik, di antaranya protein tinggi 15-20 gram per 100 gram ikan, lemak rendah seitar 0,5 gram hingga 2 gram per 100 gram ikan dan lemak tak jenuh. Ada juga kandungan Vitamin A, B1 dan B2 serta mineral seperti kalsium, fosfor dan kalium.
“Mengkonsumsi ikan sungai itu sangat baik sebagai sumber protein, yang penting dalam pembentukan dan perbaikan jaringan gizi. Ada juga kandungan asam lemak Omega-3, yang baik untuk kesehatan jantung, otak dan menurunkan tekanan darah,” ungkapnya.

Manfaat kandungan vitamin dan mineral juga sangat penting untuk kesehatan tubuh, karenanya, hindari mengonsumsi ikan yang tercemar limbah zat adiktif.
Menurut Yenita, kalau rutin mengonsumsi ikan sungai yang tercemar akan berpengaruh besar pada gangguan kesehatan. Karena mengandung zat berbahaya, seperti logam berat berupa timbal, merkuri dan kadmium yang menyebabkan keracunan dan kerusakan organ.
Bahaya lainnya, berasal dari zat pestisida yang menyebabkan keracunan dan gangguan kesehatan jangka panjang. Ada juga bakteri pathogen, seperti e-Coli dan Salmonella yang memicu penyakit gastrointestinal. Jika ikan sungai yang sudah terkontaminasi zat adiktif tersebut dikonsumsi, manusia akan mengalami keracunan hingga gangguan kesehatan jangka panjang, seperti kanker dan kerusakan organ tubuh.
“Sangatlah penting untuk memastikan jika ikan-ikan yang ditangkap dan diperjualbelikan sudah aman dan tidak tercemar. Jika masih ragu, memang sebaiknya dihindari mengkonsumsi ikan dari sungai yang sudah tercemar,” ujarnya.

Petani perempuan yang berada di lingkar PLTU Keban Agung, Lahat, Sumsel tak bisa lagi menggunakan air sungai untuk dikonsumsi karena tercemar limbah cair. (Foto Simburcahaya.com/Nila Ertina FM)
Penjaga Ekologi, di Tengah Krisis Iklim
Krisis iklim kini menjadi isu yang terus menerus digaungkan dari berbagai lapisan masyarakat, pemerintah, tingkat lokal, nasional maupun global. Namun, perubahan iklim harus disadari asal muasalnya karena masalah yang ditimbulkan manusia. Dimana kerusakan bentang alam terjadi karena hutan industri, perkebunan sawit, yang belasan tahun ini semakin parah, eksploitasi batu bara pada sejumlah wilayah di Sumatera Selatan, seperti Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat jadi contoh nyata. Pencemaran akibat limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3 menjadi pokok pangkal dari kerusakan lanskap, efek dari industri yang kian kemaruk.
Dalam artikel dengan Judul “studi epidemiologi jejak polusi pltu batu bara dan ancaman bagi kesehatan bisa menjadi pembunuh senyap” yang ditulis mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unsri, aktivitas PLTU telah terbukti menyebabkan timbul beragam penyakit mematikan bagi warga tapak yang bermukim di wilayah pembangkit listrik batu bara tersebut. “Kalau manusia saja bisa terpengaruh oleh limbah PLTU, bagaimana dengan flora dan fauna, tentunya sangat terdampak,” kata Pengajar FKM Unsri, Najmah PhD.
Terkini dari 3 juta hektare lebih lahan basah, yang tersebar di 17 kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, Taufik menambahkan hanya satu area yang kondisinya masih terjaga yaitu di Sungai Lematang di Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), di sana ikan baung, ikan toman dan beragam ekosistem masih alami. “Kami menemukan masih ada lokasi DAS Musi yang terjaga,” kata dia menceritakan hasil riset terbaru komunitas Rawang yang inisiasinya.
Sementara Amilda mengungkapkan, hasil penelitian yang dilakukan di desa-desa dengan menyasar masyarakat rural, perempuan desa bertahan demi mencukupi kebutuhan pangan keluarga saat krisis melanda. Krisis iklim sangat dirasakan perempuan, karena mereka tidak lagi mudah mendapatkan bahan pangan, sebab air sungai tercemar, rawa beralih fungsi. “Tapi perempuan tetap bertahan, menjaga dan merawat dengan berharap lingkungan kembali seperti sedia kala, sungai menghasilkan ikan dan udang atau beragam jenis siput yang biasa dikonsumsi,” kata dia.
Di sisi lain, kebijakan negara membuat perempuan kini kehilangan pengetahuan, pengetahuan tentang lingkungan, pengetahuan kapan waktu yang tepat mencari ikan padahal sebelumnya, perempuan tahu secara detail kondisi cuaca yang bagus untuk mencari ikan bersama-sama dengan menggunakan alat tradisional atau bekarang.
Tak heran, kini ikan air tawar menjadi mahal dan langka, pindang ikan tidak lagi lazim disajikan menjadi menu utama keluarga di desa-desa.
Ketika berkunjung ke desa untuk melakukan penelitian diakui Taufik, hidangan bukan lagi dari alam dan lingkungan sekitar. “Miris, kami menemukan masyarakat menyajikan mi instan dan ikan kalengan produksi pabrikan,” kata dia.(Nefri Inge, Hafidz Trijatnika dan Nila Ertina FM)
Artikel ini merupakan bagian dari serial liputan kolaborasi #PerempuanRawatBumi bersama media anggota Women News Network (WNN), didukung oleh International Media Support (IMS). Informasi soal WNN bisa diakses di https://womennewsnetwork.id









