Simburcahaya.com – Didukung UN Women yang merupakan organisasi Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lembaga pemerintah dan nonpemerintah menerbitkan Gender Alert edisi kedua, yang fokus pada koordinasi dan pengelolaan posko pengungsian dan evakuasi yang berperspektif gender, pelindungan, dan inklusi.
Mendesak sekali langkah pemerintah, koordinator kluster, masyarakat sipil dan aktor kemanusiaan yang terlibat dalam penanganan bencana tentang risiko utama, kebutuhan, dan kapasitas operasional dalam pengelolaan posko pengungsian saat ini, sambil memberikan penyadaran akan pentingnya perencanaan dan tata kelola posko pengungsian yang aman, inklusif, dan akuntabel.
Menilik pada situasi yang terus berkembang dan temuan-temuan pada Gender Alert edisi pertama, edisi kali ini menyajikan prioritas dan tindakan cepat yang perlu jadi pertimbangan bagi pemerintah, koordinator kluster, dan aktor kemanusiaan. Tujuannya adalah untuk mendukung posko pengungsian yang tidak hanya menyediakan ruang tinggal atau hunian secara fisik, tetapi juga secara aktif melindungi martabat, keamanan, dan hak-hak terutama bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya—selama fase tanggap darurat dan pemulihan awal.
Disampaikan sejak diterbitkannya Gender Alert No. 1, situasi terkait respons kemanusiaan dan dampak bencana berkembang. Jumlah korban meninggal akibat bencana naik menjadi 969, dengan 525 orang, masih dilaporkan hilang dan lebih dari 5.000 orang terluka (data per 11 Desember 2025).
Di antara 52 kabupaten yang terdampak, Agam, Aceh Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Aceh Tamiang adalah daerah dengan catatan jumlah korban meninggal tertinggi. Untuk memperkuat perencanaan bantuan tanggap darurat kemanusiaan, pemulihan, dan rehabilitasi dan rekonstruksi yang responsif gender, UN Women dan UNFPA, bekerja sama dengan BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tiga provinsi terdampak, telah memberikan pelatihan bagi enumerator lokal dari Universitas Syiah Kuala (Aceh) dan Universitas Sari Mutiara (Sumatera Utara) untuk mengumpulkan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, Usia, dan Disabilitas (SADDD) pada populasi yang terdampak, yang kini digunakan oleh Sub-Klaster pemerintah untuk WASH (dengan dukungan UNICEF) dan organisasi kemanusiaan lainnya sebagai rujukan bagi intervensi tanggap darurat mereka.
Situasi Terkini
Bencana banjir dan longsor telah menyebabkan kerusakan parah pada perumahan dan infrastruktur esensial. Setidaknya 158.000 rumah rusak atau hancur, bersama dengan lebih dari 1.200 fasilitas umum, termasuk 219 fasilitas kesehatan, 581 sekolah, 434 tempat ibadah, 290 gedung pemerintah dan kantor, serta 498 jembatan.
Meskipun jumlah total pengungsi mulai menurun dari catatan tertinggi yang mencapai lebih dari 1 juta orang beberapa waktu lalu, diperkirakan 894.101 orang masih mengungsi per tanggal 9 Desember 2025.
Memasuki minggu kedua, banyak keluarga terdampak yang kecil kemungkinannya akan kembali ke rumah dengan aman karena pemadaman listrik yang masih berlanjut, sistem air yang masih rusak, kontaminasi lumpur, dan kondisi di perumahan yang masih belum stabil.
Pola pengungsian semakin beragam dan dinamis. Ribuan pengungsi baik perempuan, laki-laki, anak perempuan, dan
anak laki-laki masih terus tinggal di posko-posko pengungsian seperti di sekolah, madrasah, masjid, balai desa, dan bangunan fasilitas umum lainnya.
Sementara itu, laporan dari organisasi kemanusiaan menunjukkan bahwa sebagian keluarga telah mulai kembali ke komunitas dan kelompok mereka untuk membangun hunian seadanya dengan menggunakan bahan-bahan bekas seperti terpal bekas, lempengan seng, dan puing-puing yang ada.
Hunian informal sementara ini umumnya didirikan di daerah yang masih rawan banjir dan tidak mempunyai perlindungan, privasi, serta akses ke layanan dasar yang tidak memadai, yang menimbulkan kekhawatiran terkait pemenuhan hak keamanan, kesehatan, dan hidup yang martabat—terutama bagi perempuan, anak-anak, orang tua, dan orang dengan disabilitas.
Seiring dengan berlanjutnya pengungsian dan risiko banjir yang masih tinggi, situasi saat ini menggarisbawahi adanya kebutuhan mendesak akan pengelolaan posko pengungsian dan evakuasi yang lebih terkoordinir, inklusif, dan responsif gender — baik mencakup mereka yang masih tinggal di posko pengungsian bersama maupun mereka yang tinggal di hunian informal atau sementara selama masa transisi menuju pemulihan awal.
Sampai dengan Jumat, 12 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan penurunan signifikan dalam jumlah pengungsi selama tiga hari terakhir.
Data sementara menunjukkan penurunan sebesar 44% di Kabupaten Aceh Utara, yang berkontribusi pada penurunan total jumlah pengungsi akibat bencana di Provinsi Aceh—dari 994.801 pada hari Senin menjadi 831.124.2 Sehari sebelumnya, hampir 1 juta orang (sekitar 260.620 rumah tangga) di Aceh mengungsi yang tersebar di 1.976 lokasi. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka dari dua provinsi terdampak lainnya: Sumatera Utara, di mana 42.207 orang mengungsi dari total 1,5 juta penduduk terdampak, dan Sumatera Barat, dengan 17.934 orang ditampung di 114 posko pengungsian. Pembaruan rutin mengenai dampak Siklon Senyar dapat diakses melalui Dashboard BNPB.(*)









